Dari Ruang Guru hingga Kantin: Membangun Budaya Hormat dan Saling Menghargai di Sekolah

Sekolah bukan hanya tempat transfer ilmu pengetahuan; ia adalah komunitas tempat setiap individu—mulai dari kepala sekolah, guru, tenaga kependidikan, hingga siswa—berinteraksi dan bertumbuh. Membangun Budaya Hormat dan saling menghargai di lingkungan sekolah adalah fondasi utama untuk menciptakan suasana belajar yang aman, nyaman, dan produktif. Budaya Hormat ini harus diwujudkan dalam setiap sudut institusi, mulai dari interaksi formal di ruang kelas, diskusi di ruang guru, hingga percakapan santai di kantin. Ketika rasa hormat menjadi nilai yang diinternalisasi dan dipraktikkan secara konsisten, konflik berkurang, empati meningkat, dan lingkungan belajar menjadi inklusif bagi semua orang. Ini adalah tanggung jawab kolektif yang memerlukan strategi terstruktur dan teladan nyata.

Strategi pertama untuk membangun Budaya Hormat adalah melalui komunikasi yang beretika dan inklusif. Ini mencakup pelatihan bagi seluruh warga sekolah mengenai pentingnya bahasa yang non-diskriminatif dan sensitif terhadap perbedaan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Contoh konkretnya, pada hari Selasa, 18 Februari 2025, SMA Negeri 2 Palembang mengadakan workshop wajib bagi seluruh staf pengajar dan siswa mengenai “Komunikasi Inklusif” yang difasilitasi oleh seorang psikolog pendidikan. Pelatihan ini bertujuan untuk mengurangi penggunaan istilah-istilah yang merendahkan, bahkan secara tidak sadar, di area publik sekolah. Implementasi ini harus terlihat bahkan di lokasi yang paling santai sekalipun; etika komunikasi di kantin, misalnya, harus sama tingginya dengan etika di dalam kelas, di mana setiap orang didorong untuk mendengarkan secara aktif dan menghargai antrean.

Strategi kedua adalah menerapkan keteladanan dari puncak pimpinan hingga staf terendah. Siswa cenderung meniru perilaku orang dewasa di sekitar mereka. Jika siswa melihat guru dan staf sekolah memperlakukan satu sama lain atau petugas kebersihan dengan rasa hormat, mereka akan mengadopsi perilaku tersebut. Di ruang guru, misalnya, para pendidik harus menunjukkan penghargaan profesional melalui kolaborasi yang terbuka dan kritik yang konstruktif. Di ruang Tata Usaha (TU), staf harus melayani siswa dengan keramahan dan kesabaran, tanpa memandang status sosial mereka. Sebagai contoh, Kepala Sekolah SMA Swasta “Cahaya Bangsa” di Medan menetapkan kebijakan yang mewajibkan semua guru dan staf TU untuk menyambut siswa di gerbang sekolah setiap pagi pukul 06.45 WIB. Tindakan sederhana ini menciptakan kesan pertama yang positif dan menanamkan rasa saling menghargai dari awal hari.

Strategi ketiga adalah penegakan aturan yang adil dan konsisten terhadap perilaku tidak hormat. Budaya hormat tidak dapat tumbuh tanpa adanya konsekuensi yang jelas bagi tindakan perundungan atau diskriminasi. Sistem penanganan kasus harus transparan dan fokus pada pendidikan ulang, bukan sekadar hukuman. Pada tanggal 10 April 2026, Tim Disiplin SMA Swasta “Bina Prestasi” di Bekasi menetapkan protokol baru, di mana kasus cyberbullying yang melibatkan siswa akan ditangani dengan mediasi restoratif yang melibatkan orang tua, korban, dan pelaku. Bahkan, petugas keamanan sekolah yang bekerja sama dengan aparat kepolisian sektor (Polsek) setempat dalam pengawasan area sekolah diminta untuk memprioritaskan penyelesaian masalah non-kekerasan dan persuasif. Dengan demikian, Budaya Hormat di sekolah diperkuat melalui contoh nyata, komunikasi yang beretika, dan sistem yang menjamin keadilan.